ilmu bahasa
Rabu, 30 Mei 2012
sociolinguistic
A.Sosiolinguistik
Secara umum sosiolinguistik membahas hubungan bahasa dengan penutur
bahasa sebagai anggota masyarakat. Hal ini mengaitkan fungsi bahasa secara umum
yaitu sebagai alat komunikasi. Sosiolingistik lazim didefenisikan sebagai ilmu yang
mempelajari ciri dan pelbagai variasi bahasa serta hubungan diantara para bahasawan
dengan ciri fungsi variasi bahasa itu di dalam suatu masyarakat bahasa (Kridalaksana,
1978:94), Fishman (1972) dalam Chaer dan Agustina (2004:3) mengemukakan
bahwa sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi variasi
bahasa, dan pengunaan bahasa karena ketiga unsur ini berinteraksi dalam dan saling
mengubah satu sama lain dalam satu masyarakat tutur, identitas sosial dari penutur,
lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi serta tingkatan variasi dan ragam
linguistik. Berdasarkan teori Platt dalam (Siregar dkk 1998:54) berpendapat bahwa
dimensi identitas sosial merupakan faktor yang mempengaruhi penggunaan bahasa di
dalam masyarakat yang multilingual, dimensi ini mencakup kesukaran, umur, jenis
kelamin, tingkat dan sarana pendidikan dan latar sosial ekonomi. Sedangkan
Nababan (1994:2) mengatakan bahwa pengkajian-pengkajian bahasa dengan dimensi
kemasyarakatan disebut sosiolinguistik. Sosiolinguistik memfokuskan penelitian pada
variasi ujaran dan mengkajinya dalam suatu konteks sosial. Sosiolinguistik meneliti
korelasi antara faktor- faktor sosial itu dengan variasi bahasa.
Berdasarkan pengertian menurut para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa
sosiolinguistik adalah cabang ilmu linguistik yang erat kaitannya dengan sosiologi,
hubungan antara bahasa dengan faktor- faktor sosial di dalam suatu masyarakat tutur
serta mengkaji tentang ragam dan variasi bahasa.
Selanjutnya ada tujuh dimensi yang merupakan penelitian sosiolinguistik
yaitu: (1) identitas sosial dari penutur, (2) identitas sosial dari pendengar yang terlibatdalam proses komunikasi, (3) lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi (4)analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial, (5) penilaian sosial yangberbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk ujaran, (6) tingkatan variasi danragam linguistik, (7) penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik.(Chaer,2004:5).
Identitas sosial dari penutur dapat diketahui dari pertanyaan apa dan siapa
penutur tersebut, dan bagaimana hubungannya dengan lawan tuturnya. Maka,
identitas penutur dapat berupa anggota keluarga. Identitas penutur itu dapat
mempengaruhi pilih kode dalam bertutur.
Lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi dapat berupa ruang keluarga
di dalam sebuah rumah tangga, di perpustakaan, di perkuliahan, di pinggir jalan
hingga di lingkungan para waria. Tempat peristiwa tutur terjadi dapat pula
mempengaruhi pilihan kode dan gaya dalam bertutur. Misalnya, di ruang
perpustakaan tentunya kita harus berbicara dengan suara yang tidak keras, sedangkan
dilingkungan para waria berbicara dalam mengunakan bahasa dalam kelompok
tertentu dengan bahasa yang sering mereka gunakan, seperti ragam bahasa gaul.
Tingkatan variasi dan ragam linguistik, bahwa sehubungan dengan
heterogennya anggota suatu masyarakat tutur, adanya berbagai fungsi sosial dan
politik bahasa, serta adanya tingkatan kesempurnaan kode, maka alat komunikasi,
manusia yang disebut bahasa itu menjadi sangat beragam yang memiliki fungsi
sosialnya masing- masing.
Bahasa adalah suatu sistem lambang berupa bunyi, bersifat arbitrer,
digunakan oleh suatu masyarakat tutur untuk bekerjasama, berkomunikasi, dan
mengindentifikasi diri (Chaer, 2004:1). Hal ini memberi gambaran bahwa bahasa
adalah berupa bunyi yang digunakan oleh rnasyarakat untuk berkornunikasi. Keraf
(1991:1) mengatakan bahwa bahasa mencakup dua bidang, yaitu bunyi yang
dihasilkan oleh alat ucap berupa arus bunyi, yang mempunyai makna. Menerangkan
bahwa bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat terdiri atas dua
bagian utama yaitu bentuk (arus ujaran) dan makna (isi). Sapir (1921) dalam Sibarani
(2004:36) mengatakan bahwa bahasa adalah metode atau alat penyampaian ide,
perasaan, dan keinginan yang sungguh manusiawi dan noninstingtif dengan
mempergunakan sistem simbol- simbol yang dihasilkan dengan sengaja dan suka
rela. Sedangkan menurut Sibarani (2004:37) Bahasa adalah bahasa sebagai sistem
tanda atau sistem lambang, sebagai alat komunikasi, dan digunakan oleh kelompok
manusia atau masyarakat.
Menurut pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa bahasa merupakan bunyi
yang dihasilkan oleh alat ucap berupa bentuk dan makna, sistem tanda atau sistem
lambang, sebagai alat komunikasi, dan digunakan oleh kelompok manusia atau
masyarakat untuk mengindenfikasi diri dalam makna yang berkaitan dengan
penggunaan bahasa yang terdapat dalam kata yang diucapkan.
Indonesia adalah Negara yang wilayahnya sangat luas dengan penduduk yang
terdiri dari berbagai suku bangsa, maka pengunaan bahasa Indonesia juga beragam.
Apabila beberapa orang berbicara dalam bahasa yang tidak dapat dipahami, pertama
yang terdengar adalah berbagai bunyi dan berselang- seling dan rumit sekali. Ketika
ingin semakin akrab dengan bahasa itu bunyi yang berselang- seling tadi berubah
menjadi bunyi yang dapat dibedakan. Tiap bahasa memiliki aturan-aturan sendiri
yang menguasai bunyi- bunyi dan urutan- urutannya, kata dan bentukan- bentuknya,
kalimat dan susunannya.
Indonesia adalah Negara yang multilingual. Selain bahasa Indonesia yang
digunakan secara nasional, terdapat pula ratusan bahasa daerah , besar maupun kecil,
yang digunakan oleh para anggota masyarakat bahasa daerah itu untuk keperluan
yang bersifat kedaerahan, tetapi di samping itu banyak pula yang hanya menguasai
satu bahasa, namun ada pula yang menguasai dwi bahasa (bilingual) atau lebih dari
dua bahasa (multi lingual).
Sebagai sebuah subjek kajian bahasa gaul merupakan suatu fenomena
penciptaan bahasa yang berbeda namun berlaku dikalangan pengguna bahasa karena
seperti yang kita ketahui bahwa bahasa memiliki salah satu sifat yang arbitrer bisa
diartikan sewenang-wenang, berubah ubah, tidak tetap, dan mana suka. Keraf (1991 :
16) menyatakan bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa
simbol yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Dalam praktek kehidupan sehari-hari
manusia tidak terlepas dari simbol dan alat komunikasi. Bahasa adalah alat yang
digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi serta penyampaiannya segala sesuatu
dalam bentuk lisan kepada sesama manusia. Dalam pergaulan sehari- hari di berbagai
kalangan mengakui adanya pluralitas orientasi seksual dikenal adanya penggunaan
bahasa gaul di sekelompok waria yang secara budaya dan pengucapan menunjukkan
kreasi dan kegairahan mereka tanpa menjadi terjebak pada penyeragaman bahasa
yang monoton dan tidak berkembang.
Berbicara mengenai bahasa tidak hanya membicarakan satu jenis bahasa,
tentu banyak pula ragamnya yang berdasarkan konteks situasi dimana mereka
menggunakan bahasa yang mereka anggap sebagai alat komunikasi yang sering
digunakan dalam kelompok mareka, salah satu bahasa yang digunakan ialah ragam
bahasa gaul pada kalangan waria. Ragam bahasa yang disikapi dalam pengertian ini
adalah fenomena bahasa pada kalangan waria. Dalam hal ini ragam bahasa yang
digunakan seseorang dalam situasi non formal pada orang yang sama akan menukar
bahasa tertentu, umpamanya membicarakan masalah adat di daerahnya, maka akan
disesuaikan dengan bahan dan bahasa yang tepat. Begitu pula tentang bahasa pada
kalangan waria yang ada di jalan Gajah Mada Medan.
2.1.1 Konteks dan Situasi
Menurut Poerwadarminta(2008:156) pada Kamus Besar Bahasa Indonesia,
konteks diartikan sebagai bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung
atau menambah kejelasan makna. Istilah konteks dan situasi sering digunakan untuk
menerangkan peristiwa bahasa sebagai salah satu petunjuk untuk lebih memahami
masalah arti bahasa. Walau kata konteks dan situasi sering diiringi penggunaannya,
sebaliknya diadakan juga perbedaan antara kedua kata itu. Kata- kata pada satu
bahasa yang dapat kita pahami tanpa mengenal konteks nya.
Fishmam (dalam Tarigan, 3:1988) beserta pakar sosiolinguistik lainnya sangat
yakin bahwa maksud dan tujuan penggunaan satu atau dua bahasa sangat beraneka
ragam dan barbeda dari satu wilayah ke wilayah lainnya dari orang ke orang
bergantung pada topik, penyimak dan konteks. Berdasarkan penggunaannya, berarti
bahasa itu digunakan untuk apa, dalam bidang apa, apa jalurnya, dan alatnya serta
bagaimana situasi keformalannya.
Bahasa menurut statusnya meliputi status bahasa itu sendiri. Hal ini berarti
bahwa bagaimanakah fungsi bahasa itu serta peraanan apa yang disandang oleh
bahasa. Bahsa Indonesia, dapat memiliki berbagai macam status apakah ia sebagai
bahasa ibu, bahasa nasional, bahasa resmi, bahasa pemersatu, atau bahasa negara.
Kridalaksana (1984: 142) mengemukakan bahwa ragam bahasa adalah variasi bahasa
menurut penggunaanya yang dibedakan menurut topik, hubungan pelaku, dan
medium pengungkapan. Jadi ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut
penggunaannya, yang timbul menurut situasi dan fungsi yang memungkinkan adanya
variasi tersebut.
Ragam bahasa menurut topik pembicaraan mengacu pada penggunaan bahasa
dalam bidang tertentu, seperti, bidang jurnalistik (persurat kabaran), kesusastraan,
dan pemerintahan. Ragam bahasa menurut hubungan pelaku dalam pembicaraan atau
gaya penuturan menunjuk pada situasi formal atau informal. Medium pengungkapan
dapat berupa sarana atau cara penggunaan bahasa, misalnya bahasa lisan dan bahasa
tulis, masing-masing ragam bahasa memiliki ciri-ciri tertentu, sehingga ragam yang
satu berbeda dengan ragam yang lain.
Penggunaan ragam bahasa perlu penyesuaian antara situasi dan fungsi
penggunanya. Hal ini mengindifikasikan bahwa kebutuhan manusia terhadap sarana
komunikasi juga bermacam-macam. Untuk itu, kebutuhan sarana komunikasi
bergantung pada situasi pembicaraan yang berlangsung. Dengan adanya keaneka
ragaman bahasa di dalam masyarakat, kehidupan bahasa dalam masyarakat dapat
diketahui, misalnya berdasarkan jenis pendidikan atau jenis pekerjaan seseorang,
bahasa yang digunakan memperlihatkan perbedaan.
Sebuah komunikasi dikatakan efektif apabila setiap penutur menguasai
perbedaan ragam bahasa. Dengan penguasaan ragam bahasa, penutur bahasa dapat
dengan mudah mengungkapkan gagasannya melalui pemilihan ragam bahasa yang
ada sesuai dengan kebutuhannya. Oleh karena itu, penguasaan ragam bahasa
termasuk bahasa gaul di kalangan waria menjadi tuntutan bagi setiap penutur,
mengingat kompleksnya situasi dan kepentingan yang masing-masing, menghendaki
kesesuaian bahasa yang digunakan.
B.Ragam Bahasa
Manusia merupakan mahluk sosial, manusia melakukan interaksi, bekerja
sama, dan menjalin kontak sosial di dalam masyarakat. Dalam melakukan hal
tersebut, manusia membutuhkan sebuah alat komunikasi yang berupa bahasa. Bahasa
memungkinkan manusia membentuk kelompok sosial, sebagai pemenuhan
kebutuhannya untuk hidup bersama. Dalam kelompok sosial tersebut manusia terikat
secara individu. Keterikatan individu-individu dalam kelompok ini sebagai identitas
diri dalam kelompok tersebut. Setiap individu adalah anggota dari kelompok sosial
tertentu yang tunduk pada seperangkat aturan yang disepakati dalam kelompok
tersebut. Salah satu aturan yang terdapat di dalamnya adalah seperangkat aturan
bahasa.
Bahasa dalam lingkungan sosial masyarakat satu dengan yang lainnya
berbeda. Adanya kelompok-kelompok sosial tersebut menyebabkan bahasa yang
dipergunakan beragam. Keragaman bahasa ini timbul sebagai akibat dari kebutuhan
penutur yang memilih bahasa yang digunakan agar sesuai dengan situasi konteks
sosialnya. Oleh karena itu, ragam bahasa timbul bukan karena kaidah-kaidah
kebahasaan, melainkan disebabkan oleh kaidah-kaidah sosial yang beraneka ragam.
Dalam ragam bahasa setidaknya terdapat tiga hal, yaitu pola-pola bahasa yang
sama, pola-pola bahasa yang dapat dianalis secara deskriptif, dan pola-pola yang
dibatasi oleh makna tersebut dipergunakan oleh penuturnya untuk berkomunikasi.
ragam bahasa juga dapat dilihat dari enam segi, yaitu tempat, waktu, pengguna,
situasi, dialek yang dihubungkan dengan sapaan, status, dan penggunaan ragam
bahasa (Pateda dalam Chaer 1987: 52).
Tempat dapat menjadikan sebuah bahasa beragam, yang dimaksud dengan
tempat di sini adalah keadaan tempat lingkungan yang secara fisik seperti di jalan, diMall, hingga di lingkungan para waria.Dari segi penggunaannya, bahasa dapat menimbulkan keberagaman juga,istilah penggunaan di sini adalah orang atau penutur bahasa yang bersangkutan.Sedangkan ragam bahasa dilihat dari segi situasi akan memunculkan bahasa dalamsituasi resmi dan bahasa yang digunakan dalam tidak resmi. Dalam bahasa resmi,bahasa yang digunakan adalah bahasa standar. Kestandartan ini disebabkan olehsituasi keresmiannya. Sedangkan dalam situasi tidak resmi ditandai oleh keintiman.Ragam bahasa gaul ditinjau dari ilmu folklore adalah salah satu bentuk
(genre) foklor yang disebut ”ujaran rakyat” (folk speech). Slang ini dapat berupa satu
kalimat, tetapi dapat juga terdiri sebuah kata yang tidak lazim di dalam bahasa
nasional Indonesia yang resmi.
Bahasa Slang oleh Kridalaksana (1982:156) dirumuskan sebagai ragam
bahasa yang tidak resmi digunakan oleh kaum remaja, serta waria atau kelompok
sosial tertentu untuk komunikasi intern sebagai usaha orang di luar kelompoknya
tidak mengerti, berupa kosa kata yang serba baru dan berubah-ubah. Hal ini sejalan
dengan pendapat Alwasilah (1985:57) bahwa slang adalah variasi ujaran yang
bercirikan dengan kosa kata yang baru ditemukan dan cepat berubah, digunakan oleh
kaum muda atau kelompok sosial dan profesional untuk komunikasi di dalamnya.
Slang digunakan sebagai bahasa pergaulan. Kosakata slang dapat berupa
pemendekan kata, penggunaan kata diberi arti baru atau kosakata yang serba baru dan
berubah-ubah. Disamping itu slang juga dapat berupa pembalikan tata bunyi,
kosakata yang lazim digunakan di masyarakat menjadi aneh, lucu, bahkan ada yang
berbeda makna sebenarnya dipertegas lagi kedalam bentuk.
Slang ini selanjutnya dapat dipertegas lagi ke dalam bentuk cant, yaitu bahasa
gaul yang diucapkan dengan nada atau intonasi tertentu sehingga terasa ringan, lucu,
dan ekspresif cocok untuk suasana santai yang bersifat rahasia. Sedangkan cant yang
khusus dipergunakan oleh para penjahat atau preman dikenal dengan istilah Argot
menurut Kridalaksana (1982:14) bahasa dan perbendaharaan kata suatu kelompok
orang, seperti bahasa pencopet. Sedangkan menurut Chear (1995:80) Argot adalah
variasi sosial yang digunakan secara terbatas pada profesi- profesi tertentu dan
bersifat rahasia. Kelompok yang dimaksud disini adalah kelompok orang muda
(orang yang merasa dirinya muda), maka yang sesuai dengan penelitian adalah
bahasa Cant yang berfungsi sebagai bahasa dari sekelompok orang atau kalangan
tertentu terutama pada kelompok remaja dan waria. Pada tahun 1940-an cant tersebut
berbentuk penggantian suku kata (syllable) terakhir dari suatu kata dari suatu kata
dengan ”se”. Sebagai contoh kata genis menjadi gense. Namun pada tahun 1980-an
para pemuda usia ini mengambil alih bahasa prokem yang berasal dari para penjahat
atau preman di Jakarta. Jadi ujaran rakyat kelompok usia muda sejak itu telah
mengubah slang nya dari sifat cant menjadi argot. Bahasa prokem ini kemudian telah
berhasil menjadikan dirinya menjadi bahasa lisan dari orang Indonesia pada
umumnya di daerah perkotaan.
Bahasa pada kalangan homoseksual (gay dan lesbian) sangat menarik karena
para homoseksual menciptakan cant tersendiri untuk kelompoknya. Bahasa para gay
dan lesbian ini juga tidak langgeng, karena pada beberapa tahun ini telah timbul jenis
cant gay yang lain lagi, yang mereka namakan bahasa gaul. Bahasa gaul saat ini
semakin ngetop dan ngetrend, sehingga diambil alih juga oleh para remaja dan orang
muda dari kalangan pengusaha, artis, film sinetron, mahasiswa dan lain- lain.
Bahasa para gay dan lesbian ini pada beberapa tahun yang lalu, adalah cant
dengan cara menyisipkan suku kata ”in”, seperti untuk banci menjadi binancini,
sedangakan untuk istilah bule menjadi binuline, dan sebagainya. Dalam bahasa
pergaulan sehari-hari, kalagan yang mengakui adanya prularitas orientasi seksual
dikenal adanya pengguaan bahasa gaul yang secara budaya dan pengucapan
mempertunjukkan kreasi dan kegairahan mereka tanpa menjadi terjebak pada
penyeragaman bahasa yang membosankan, tanpa daya pikir, anti-kenikmatan dan
mentabukan seksual. Sebaliknya mereka aktif menciptakan keragaman, merangsang
gairah- gairah (pengucapan) oral mereka selalu aktif menciptakan dan menciptakan
literatur yang lebih terbuka pada kesenangan para gay dan lesbian.
Secara permukaan dimarjinalkan, masyarakat secara aktif mengagungkan satu
orientasi seksual yang sakral mengadopsinya dalam bahasa keseharian mereka
(contoh: ”bencong”) di bawah ini adalah penjelasan singkat bagaimana kreativitas
bahasa itu diekspresikan dalam keberagaman, yang disebut bentuk bahasa ”binan”
waria. Bahasa gaul khusus yang diciptakan para waria khususnys di jalan Gajah
Mada Medan dalam berkomunikasi sesama kelompok termasuk kedalam gejala
bahasa.
C.Gejala Bahasa
Menurut Badudu (1985:47) gejala bahasa adalah peristiwa yang menyangkut
bentuk kata atau kalimat dengan secara macam proses pembentukannya. Beberapa
gejala bahasa yang digunakan dalam proses pembentukan kata dalam bahasa gaul
khusus adalah penghilangan fonem, penambahan fonem dan metatesis dapat dilihat
sebagai berikut:
1. Penghilangan Fonem
Gejala penghilangan fonem bahasa gaul khusus tidak banyak ditemukan, karena
bahasa gaul khusus lebih banyak penambahan.
2. Penambahan Fonem
Gejala penanbahan fonem banyak ditemukan dalam proses pembentukan kata
dalam bahasa gaul khusus. Gejala penambahan fonem terjadi gejala bahasa yang
menyimpang. sebagai contoh yaitu:
a. Tambahan awalan ko.
Awalan ko bisa dibilang sebagai dasar pembentukan kata dalam bahasa okem.
Caranya, setiap kata dasar, yang diambil hanya suku kata pertamanya. Tapi suku kata
pertama ini huruf terakhirnya harus konsonan. Misalnya kata preman, yang diambil
bukannya pre tapi prem. Setelah itu tambahi awalan ko, maka jadi koprem. Kata
koprem ini kemudian dimodifikasi dengan menggonta-ganti posisi konsonan sehingga
prokem. Dengan gaya bicara anak kecil yang baru bisa bicara, kata prokem lalu
mengalami perubahan bunyi jadi okem.
Contoh dalam bentuk kata:
— mati — komat — (ko + mat) = mokat
— bisa— kobis — (ko + bis) = bokis
— beli — kobel — (ko + bel) = bokel
b. Tambah awalan si
Awalan si biasanya digunakan oleh waria di Jawa Timur. Cara penggunaannya
dengan menambahkan kata si pada setiap kata yang digunakan dengan terlebih
dahulu memenggal suku kata pertama dari suku kata belakang, sehingga
menghasilkan bunyi baru. Syaratnya setiap kata modifikasi tesebut harus berakhir
dengan huruf konsonan. Contoh dalam bentuk kata:
— wedhok (Jawa. perempuan) = siwed (si + wed)
— pergi = siper (si+ per)
— makan = simak (si + mak)
c. Tambahan akhiran ong
Penambahan akhiran ong adalah modifikasi sederhana lain yang sering juga digunakan.
Penggunaannya dengan menyelesaikan/ mengasimilasi setiap suku kata terakhir dalam
bahasa keseharian dengan bunyi ong dan setiap huruf vokal suku kata pertama menjadi
bunyi e.
Contoh dalam bentuk kata:
— homo — hemong (ho + mo = -he + mong)
— laki— lekong (le + ki = -le + kong)
d. Tambahan sisipan “in”
Di banding dengan modifikasi regular lainnya , sisipan “in” sedikit lebih sulit dalam
penerapannya. Setiap modifikasi sisipan “in” setiap suku kata dibagi diasimilasikan
dengan dengan sisipan bunyi “in”.
Contoh dalam bentuk kata:
— Lesbi — lines bini (les + bi = -lines + bini)
— homo— hino mino (ho + mo = -hino + mino)
3. Metatesis
Menurut Badudu (1985:64) gejala metatesis adalah gejala yang
memperlihatkan pertukaran tempat satu atau beberapa fonem.
2.2 Semantik Sebagai Kajian Makna
Kajian tetang semantik sebenarnya merupakan istilah teknis yang mengacu
pada studi tentang makna (arti, ingris: meaning). Istilah semantik baru muncul dan
diperkenalkan melalui organisasi filologi Amerika (America Philological Assocition)
tahun 1894 Goseriu dan Gecheler dalam Pateda (1985:3) menyatakan bahwa istilah
semantik yang mulai populer tahun 50-an mula-mula diperkenalkan oleh Sarjana
Prancis yang bernama M. Breal pada tahun 1883. Semantik sebagai disiplin ilmu
muncul pada abad ke-19. Sematik sebagai kajian makna, yang terdapat dalam kalimat
dan makna yang muncul dalam pembicaraan tentang kata yang disebut makna kata.
Pembicaraan dengan makna katapun menjadi objek semantik. Jadi merupakan bidang
yang sangat luas tentang makna. Para ahli berpendapat semantik adalah studi tentang
makna. Menurut mereka semantik mengamsusikan bahasa terdiri dari struktur yang
menampakkan makna apabila dihubungkan dengan objek dalam pengalaman dunia
manusia. Menurut Pateda (1996:7) secara empiris sebelum seseorang berbicara dan
ketika seseorang mendengar ujaran seseorang terjadi proses mental pada diri
keduanya baik pada pembicara maupun pihak pendengar terjadi proses pemaknaan,
dengan kata lain semantik berobjekkan makna.
Menurut George (1964) dalam Peteda (1996:7) semantik adalah bahasa yang
terdiri dari struktur yang merupakan makna apabila dihubungkan dengan objek dalam
pengalaman dunia manusia. Sedangkan Verhaar (1988:32) mengatakan bahwa
semantik berarti teori makna atau teori arti yang terdapat dalam kata.
Menurut Parera (1982:16-18) Secara umum teori semantik tentang makna
dibedakan atas:
1. Teori Refrensial yaitu makna sebuah kata cenderung semantik leksikal dalam
arti makna yang ditujukan oleh kata itu, atau objek yang ditunjuk oleh objek.
2. Teori Kontekstual mengisyaratkan bahwa sebuah kata atau simbol ujaran
mempunyai makna jika ia lepas dari konteks. Walaupun demikian ada pakar
semantik yang berpendapat bahwa kata mempunyai makna dasar atau primer
yang terlepas dari konteks situasi. Dan kedua kata itu baru mendapatkan
makna sekunder sesuai dengan konteks situasi. Jadi begitu pentingnya konteks
situasi dalam analisis makna.
3. Teori mentalisme atau konseptual yaitu makna adalah (konsep, ide, gagasan)
yang ditambahkan oleh kata itu. Dalam arti sebuah kata adalah konsep atau
gagasan yang berhubungan dengan kata tersebut.
4. Teori pemakiaan, adalah kata tidak mungkin digunakan dan bermakna untuk
semua konteks karena konteks itu selalu berubah dari waktu ke waktu. Maka
makna sebuah ujaran dibentuk oleh pengguna dalam masyarakat bahasa.
Jadi jelas bahwa berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat disimpulkankan
semantik adalah studi yang mengkaji tentang makna yang berarti teori makna atau
teori arti, makna kata, makna kalimat, makna ujar, makna harfiah, dan non harfiah.
2.3 Jenis Makna
Menurut Chaer (1994:289-296) ada bermacam- macam jenis makna dalam bidang
semantik yaitu:
2.3.1 Makna Leksikal, Makna Gramatikal, dan Konseptual
Makna leksikal adalah makna yang memeliki atau ada pada kata tanpa
konteks apapun. Contoh kata kuda memiliki makna leksikal ”sejenis binatang
berkaki empat yang biasa dikendarai” Air bermakna leksikal ” sejenis benda cair
yang biasa digunakan untuk keperluan sehari- hari. Dengan demikian makna leksikal
adalah makna yang sebenarnya, makna yang sesuai dengan hasil indra kita atau
makna apa adanya.
Makna Gramatikal adalah untuk menyatakan makna-makna atau nuansanuansa
makna gramatikal, untuk menyatakan makna jamak bahasa Indonesia,
menggunakan proses reduplikasi seperti kata: buku yang bermakna “2buah buku,”
menjadi buku-buku yang bermakna “‘ banyak buku.”
2.3.2 Makna Referensial dan Nonreferensial
Sebuah kata disebut bermakna refrensial kalau ada referensinya, atau
acuannya. Kata-kata seperti kuda, meja, kursi adalah termasuk kata- kata yang
bermakna referensial karena ada acuannya dalam dunia nyata. Sebaliknya kata seperti
dan, atau, dan karen, termasuk kata yang tidak bermakna referensial, karena kata itu
tidak mempunyai referensi.
2.3.3 Makna Denotatif dan Makna Konotatif
Makna denotatif adalah makna asli, makna asal atau makna sebenarnya yang
dimiliki oleh sebuah kata. Jadi makna denotatif ini sebenarnya sama dengan leksikal.
Contoh kata babi bermakna denotatif ”sejenis binatang yang biasa diternakkan untuk
dimanfaatkan dagingnya”. Kata kurus bermakna denotatif ”keadaan tubuh seseorang
yang lebih kecil dari ukuran normal”. Sedangkan makna konotatif makna yang tidak
sebenarnya. Contoh kata babi pada contoh di atas, pada orang yang beragama islam
atau di dalam masyarakat islam mempunyai konotasi yang negatif, ada rasa atau
perasaan yang tidak enak bila mendengar kata itu. Kata kurus juga pada contoh di
atas berkonotasi netral, artinya tidak memilki nilai rasa yang menyenangkan
(unfavorable). Tetapi kata ramping yang sebenarnya bersinonim dengan kata kurus
itu memiliki konotasi positif nilai rasa yang menyenangkan orang akan senang kalau
dikatakan ramping. Sebaliknya, kata kerempeng yang juga sebenarnya bersinonim
dengan kata kurus dan ramping itu, mempunyai konotasi yang negatif, nilai rasa yang
tidak menyenangkan; orang merasa tidak senang kalau dikatakan tubuhnya
kerempeng.
Dari contoh kurus, ramping dan kerempeng itu dapat disimpulkan, bahwa
ketiga kata itu memiliki kata itu secara denotatif mempunyai makna yang sama atau
bersinonim, tetapi ketiganya memilki konotasi yang tidak sama. Kurus berkonotasi
netral, ramping berkonotasi positif, dan kerempeng berkonotasi negatif.
2.3.4 Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Menurut Leech (1976) dalam chear (1994:147) membagi makna menjadi
makna konseptual dan makna asosiatif. Yang dimaksud dengan makna konseptual
adalah makna yang dimiliki oleh sebuah kata terlepas dari konteks atau asosiasi apa
pun. Kata kuda memiliki makna konseptual ”sejenis binatang berkaki empat yang
biasa dikendarai” dan kata rumah memiliki makna konseptual ”bangunaan tempat
tinggal manusia”. Jadi, makna konseptual sesungguhnya sama dengan makna
leksikal, makna denotatif, dan mmakna referensial.
2.3.5 Makna Idiom
Makna idiom satuan ujaran yang maknanya tidak dapat ’diramalkan’ dari
makna unsur nya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Umpamanya,
bentuk membanting tulang dengan bermakna ’bekerja keras’ termasuk idiom penuh.
Beberapa jenis makna di atas dalam penelitian ini dibatasi pada makna
leksikal mendaftarkan kata yang diucapkan oleh para waria. Semantik sebagai studi
tentang makna, merupakan pusat studi tentang pemikiran manusia, yaitu berpikir
kognisi yang berkaitan dengan mengklasifikasi dan menggambarkan pengalaman
manusia tentang bahasa.
Menutur Pateda (1996:74) mengatakan Semantik leksikal adalah kajian
semantik yang lebih memusatkan pada pembahasan sistem makna yang terdapat
dalam kata. Verhaar (1988:74) mengatakan semantik leksikal adalah memperhatikan
makna yang terdapat di dalam kata sebagai satuan yang terdapat di dalam kamus.
Sedangkan Djajasudarman (1999:13) makna leksikal (bahasa Inggris- lexical
meaning, semantic meaning, external meaning) adalah makna unsur- unsur bahasa
sebagai lambang benda, peristiwa, dan lain-lain, makna leksikal dimiliki unsur- unsur
bahasa secara tersendiri, lepas dari konteks.
Saeed (1997:55) mengatakan makna semantik adalah kata yang mengandung
atau arti yang sebenarnya. Makna semantik dapat dibagi kedalam beberapa tipe,
diantaranya:
1. Makna leksikal yang berbeda apabila diletakkan dalam konteks kalimat yang
berbeda. Misalnya :
a. Bisa ular itu sangat mematikan
b. Pemerintah bisa mengatasi permasalahan itu
Dari kedua contoh di atas, jelas bahwa satu kata memiliki makna yang berbeda sesuai
dengan konteks kalimatnya.
1. Makna leksikal juga tergantung kepada kegunaan, fungsi dan bidang ilmu.
Contoh: Raw (mentah), memiliki arti yang berbeda apabila kita letakkan
dalam konteks kalimat yang berbeda bidang ilmunya. Dengan kata yang sama,
yaitu raw, tetapi menghasilkan makna kata yang berbeda khususnya dalam
konteks bidang ilmu, seperti:
1. Raw; dapat diartikan sebagai tidak tercapainya kata sepakat di dalam bisnis,
artinya kesepakatan bisnis tersebut mentah, dalam artian gagal
2. Raw fruit; dapat diartikan sebagai buah yang benar- benar mentah, belum
dapat di makan.
Contoh lain seperti kata Kali, memiliki arti yang berbeda apabila kita letakkan
dalam konteks kalimat yang berbeda bidang keilmuannya. Seperti :
1. Kali dalam bidang Matematika, 3 x 4 = 12
2. Kali dapat bermakna sungai dalam bahasa sehari- hari.
Jadi dari kedua kalimat diatas dapat disimpulkanbahwa semantik leksikal
tergantung pada penggunaan, fungsi dalam bidang ilmu, dan kalimat tersebut akan
berubah berdasakan konteks. Maka jelas semantik leksikal dapat berbeda berdasarkan
penggunaan dan konteksnya.
Leech (2003:38) menyimpulkan tujuh tipe makna yaitu sebagai berikut:
1. makna konseptual
atau pengertian
Isi yang logis, kognitif atau denotatif
2. Makna konotatif Yang dikomunikasikan dengan
apa yang diacu oleh bahasa
3. Makna stilistika Yang dikomunikasikan dari
keadaan sosial mengenai
penggunaan bahasa
4. makna afektif Yang terungkap dari pesan dan
tingkah laku pembicara/ penulis
5. makna refleksi Yang disampaikan melalui
asosiasi dengan pengertian yang
lain dari ungkapan yang sama
MAKNA ASOSIATIF
6. makna kolokatif Yang disampaikan melalui
asosiasi dengan kata yang
cenderung terjadi pada lingkup
kata yang lain
7. makna thematik Yang dikomunikasikan dengan
cara dimana pesannya disusun
atas dasar urutan dan tekanan
Bardasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan semantik leksikal adalah
mengkaji makna yang terdapat di dalam kata sebagai satuan yang terdapat di dalam
kamus. Kamus yang relevan dengan pembahasan ini adalah Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) dan Kamus Bahasa Gaul karangan Debby Sahertian.
Secara linguistik bahasa gaul adalah bahasa Indonesia yang pada umumnya
digunakan oleh para kalangan remaja, selebritis hingga para waria. Perbendaharaan
kata dalam bahasa gaul diartikan dengan mencari arti dalam arti, arti perbendaharaan
katanya, atau pemberian makna pada suatu fakta realita, atau keinginaan yang
diungkapkan dalam hal tertentu serta selalu dimaknai dan dikuatkan dengan hal- hal
yang sedang terjadi. Misalnya: kata cakrawala di dalam KBBI lengkung langit,
sedangkan dalam kamus waria Cakap. Kata tawar di dalam makna KBBI tidak ada
rasanya, kurang asin, kurang sedap (tt makanan); hambar, sedangkan dalam kamus
waria tahu. Kata Capcai dalam KBBI masakan Cina, sedangkan dalam kamus waria
Cepat.
Berdasarkan contoh di atas kata cakrawala, kata tawar dan capcai terjadi
perubahan makna KBBI, selain terjadi perubahan makna kata juga merujuk pada
makna yang sama. Jadi jika dianalisis berdasarkan kata yang mereka ucapkan
ternyata memiliki kaitan dengan makna sebenarnya, dengan demikian sekelompok
waria dalam menggunakan bahasa tidak sembarangan tetapi ada pola tertentu
berdasarkan makna secara leksikal.
2.4 Relasi Makna Relasi adalah hubungan makna ini menyangkut hal kesamaan makna
(sinonim), kebalikan makna (antonim), kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas),
ketercakupan makna (hiponimi), kelainan makna (homonimi), kelebihan makna
(redundansi) dan sebagainya, sebagai berikut:
2.4.1 Kebermaknaan
Sebuah kata disebut bermakna atau mempunyai arti apabila kata ini
memenuhi satu konsep atau mempunyai rujukan (Parera 1991 : 18).
2.4.2 Polisemi
Sebuah kata atau satuan ujaran disebut polisemi kalau itu mempunyai makna
lebih dari satu (Chaer 1994 : 301). jadi polisemi adalah kata yang mengandung
makna lebih dari satu atau ganda. Contoh: Kata kepala bermakna ; bagian tubuh dari
leher ke atas, seperti terdapat pada manusia dan hewan, bagian dari suatu yang
terletak di sebelah atas atau depan, seperti kepala susu, kepala meja,dan kepala kereta
api, bagian dari suatu yang berbentuk bulat seperti kepala, kepala paku dan kepala j
arum dan Iain-lain.
2.4.3 Homonim
Homonim adalah dua kata atau satuan ujaran yang bentuknya kebetulan sama,
maknanya tentu saja berbeda, karena masing-masing merupakan kata ujaran yang
berlainan (Chaer 1994 : 302)
2.4.4 Homograf
Homograf mengacu pada bentuk ujaran yang sama otografinya atau ejaannya,
tetapi ucapan dan maknanya tidak sama, (Chaer, 1994 : 303). Dalam bahasa
Indonesia bentuk-bentuk homograf hanya terjadi karena otografi untuk fonem /e/ dan
fonem /#/ sama lambangnya yaitu huruf /e/, contoh homograf yang ada dalam bahasa
Indonesia tidak banyak. Kata teras /#/ /teras/ yang maknanya ‘inti’ dan kata /teras/
yang maknanya bagian depan rumah; kata memerah /memerah/ yang berarti
‘melakukan perah’ dan kata memerah /memerah/ yang berarti ‘menjadi merah’
2.4.5 Sinonim
Sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan
makna antara satu satuan ujaran dengan satuan dengan satuan ujarann lainnya (Chaer,
1994 : 297).Contoh: Kata buruk dan jelek, mati dan wafat, bunga dan kembang.
2.4.6 Antonim
Antonim adalah hubungan semantik antara dua buah satuan ujaran yang
maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan atau kontras antara satu dengan yang
lain (Chaer, 1994 : 305). Contoh: Kata bagus berantonim dengan kata buruk; kata
besar berantonim dengan kata kecil.
2.4.7 Hiponim
Hiponim adalah hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang
maknanya tercakup dalam maknanya bentuk ujaran yang lain (Chaer, 1994 : 305).
2.4.8 Ketaksaan
Menurut Chaer (1994 : 307) ketaksaan adalah gejala yang menunjukkan
terjadinya kegandaan makna akibat tafsiran gramatikal yang berbeda.
Tafsiran gramatikal yang berbeda ini umumnya terjadi pada bahasa tulis, karena
dalam bahasa tulis unsur suprasegmental tidak dapat diuraikan secara akurat.
2.4.9 Kemubaziran (Redundansi)
Menurut Chaer (1994 : 310) istilah redundansi biasanya diartikan sebagai
berlebih-lebihan penggunaan unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran. Ciri
semantic ini dapat menandai makna kalimat dalam bahasa minangkabau. Makna
kalimat yang mubajir mengandung makna berlebihan atau lebih dari yang diperlukan.
2.5 Perubahan Makna
Pertumbuhan atau perkembangan bahasa, makna suatu kata dapat mengalami
perubahan-perubahan. Perubahan makna itu dapat dilihatkan dari bermacam-macam
sudut. Di antara bermacam-macam peristiwa perubahan makna itu Keraf (1980 : 130-
131) adalah :
1. Meluas adalah cakupan makna sekarang lebih luas dari pada makna yang
dulu. Contoh kata bapak, ibu, saudara, dahulu digunakan untuk menyebut
orang yang bertalian darah dengan kita. Tetapi sekarang kata bapak, ibu,
saudara telah meluas maknanya.
2. Menyempit adalah cakupan makna dulu lebih luas dari pada makna sekarang.
2. Amelioratif adalah suatu proses perubahan makna, baru dirasakan lebih tinggi
atau lebih baik nilainya dari makna dulu.
3. Peioratif (kebalikan dari amelioratif) adalah suatu proses perubahan makna,
makna baru dirasakan lebih rendah nilainya dari makna yang dulu. Sebagai
contoh dalam bahasa Indonesia kata bini dianggap baik pada zaman dulu,
tetapi sekarang dirasakan kurang baik. Yang lebih baik adalah kata wanita
sehingga ada kata wanita sarjana.
4. Sinestesia adalah perubahan makna akibat pertukaran tanggapan antara dua
indera yang berlainan. Contoh katanya pedas,pedas sebenarnya tanggapan
indera perasa. Suara sedap didengar, sedap sebenarnya tanggapan indra
perasa. Pidatonya hambar, hambar juga sebenarnya merupakan kata yang
dipakai untuk indera perasa.
5. Asosiasi adalah perubahan makna yang terjadi karena persamaan sifat. Catut,
alat untuk mencabut paku, kemudian berdasarkan persamaan sifat ini dipakai
untuk orang yang menjual barang-barang dengan harga tinggi. Menurut
(Chaer, 1994 : 313) asosiasi adanya hubungan antara sebuah bentuk ujaran
dengan sesuatu yang lain, yang berkenaan dengan bentuk itu, sehingga
dengan demikian bila disebutkan ujaran itu maka yang dimaksud adalah suatu
yang lain berkenaan dengan ujaran itu.
2.6 Sejarah Penggunaan Bahasa Gaul
Bahasa gaul sendiri sebenarnya sudah ada sejak tahun 1980-an tetapi pada
waktu itu istilah bahasa prokem (okem). Lalu bahasa tersebut diadopsi kemudian
dimodifikasi sedemikian unik dan digunakan oleh orang-orang tertentu atau
kalangan-kalangan tertentu saja. Pada awalnya bahasa prokem digunaakan oleh para
preman yang kehidupanya dekat dengan kekerasan, kejahatan, narkoba, dan minuman
keras. Banyak istilah-istilah baru yang mereka ciptakan dengan tujuan agar
masyarakat awam atau orang luar komunitas mereka tidak mengerti dengan apa yang
mereka bicarakan atau yang telah mereka bicarakan. Mereka merancang kata-kata
baru, mengganti kata ke lawan kata, mencari kata sepadan, menentukan angka-angka,
penggantian fonem, penambahan awalan, sisipan, atau akhiran
Pergaulan di kalang waria mengenal apa yang disebut dengan budaya teman
sebaya (peer culture). Kelompok waria yang sebaya itu umumnya mempunyai nilai
serta karakteristik budaya yang bebeda atau bahkan bertentangan dengan budaya
orang lain. Dalam upayanya memisahkan diri dari budaya lingkungan sekitar, mereka
membuat budaya tandingan, budaya yang khas waria (Alatas, 2006:59). Budaya khas
waria ini kemudian menciptakan sebuah bahasa yang biasa digunakan oleh kaum
waria untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Bahasa tersebut kemudian disebut
dengan bahasa gaul, sesuai dengan pengertian awalnya yakni bahasa yang digunakan
untuk berteman dan bersahabat di tengah masyarakat (KBBI,2008:296). Di kalangan
waria sendiri kata ‘gaul’ ini memiliki prestise atau penilaian yang tinggi. Seseorang
waria akan dikatakan gaul apabila ia memiliki sifat yang menarik, dan pergaulan
yang luas. Jadi, seorang waria pasti akan merasa bangga apabila predikat ‘anak gaul’
dilekatkan padanya.
Menurut Wikipedia Indonesia “Bahasa gaul merupakan bentuk ragam bahasa
yang digunakan oleh penutur remaja, waria untuk mengekspresikan gagasan dan
emosinya.” Perkembangan teknologi informasi turut mendistribusikan penggunaan
bahasa gaul ke lingkup yang lebih luas. Media komunikasi, khususnya yang
membahas mengenai waria, dalam mengkomunikasikan informasi juga menggunakan
bahasa gaul yang sedang menjadi trend atau populer di kalangan remaja sampai
waria. Dewasa ini, bahasa gaul mengalami pergeseran fungsi dari bahasa rahasia
menjadi bahasa gaul. Dalam konteks modern, bahasa gaul merupakan dialek bahasa
Indonesia non-formal yang terutama digunakan sebagai bentuk percakapan seharihari
dalam pergaulan dilingkungan sosial bahkan dalam media-media populer seperti
tv, radio, dunia perfilman nasional, dan sering pula digunakan dalam bentuk publikasi
yang ditujukan untuk kalangan remaja, selebritis hingga waria oleh majalah-majalah
populer.
Sebuah artikel di Kompas yang ditulis Sahertian berjudul So What Gitu
Loch..... (2006:15) menyatakan bahwa bahasa gaul atau bahasa prokem sebenarnya
sudah ada sejak 1970-an. Awalnya istilah- istilah dalam bahasa gaul itu untuk
merahasiakan isi obrolan dalam komunitas tertentu. Oleh karena sering digunakan di
luar komunitasnya, lama-lama istilah tersebut jadi bahasa sehari-hari. Kosakata
bahasa gaul yang belakangan ini berkembang sering tidak beraturan dan cenderung
tidak terumuskan. Bahkan tidak dapat diprediksi bahasa apakah yang berikutnya akan
menjadi bahasa gaul.
Pada mulanya pembentukan bahasa slang, prokem, cant, argot, jargon, dan
colloquial di dunia ini adalah berawal dari sebuah komunitas atau kelompok sosial
tertentu yang berada di kelas atau golongan bawah (Alwasilah, 2006:29). Lambat
laun oleh masyarakat akhirnya bahasa tersebut digunakan untuk komunikasi seharihari.
Kecenderungan masyarakat ataupun para pelajar menggunakan bahasa asing
dalam percakapan sehari- hari semakin tinggi, dan lebih parah makin berkembangnya
bahasa slank atau bahasa gaul yang mencampur adukkan bahasa daerah, bahasa
Indonesia, dan bahasa Inggris. Saat ini bahasa gaul telah banyak terasimilasi dan
menjadi umum. Bahasa gaul sering digunakan sebagai bentuk percakapan sehari- hari
dalam pergaulan di lingkungan sosial bahkan dalam media populer separti TV, radio,
dunia perfilman nasional, dan digunakan sebagai publikasi yang ditujukan untuk
kalangan waria, remaja oleh majalah- majalah remaja populer. Maka sebab itu,
bahasa gaul dapat disimpulkan sebagai bahasa utama yang digunakan komunikasi
verbal oleh setiap orang dalam kehidupan sehari- hari.
Seperti halnya bahasa lain, bahasa gaul juga mengalami perkembangan.
Perkembangan tersebut dapat berupa penambahan dan pengurangan kosakata. Tidak
sedikit kata-kata yang akan menjadi kuno (usang) yang disebabkan oleh
perkembangan zaman. Setiap generasi akan memiliki ciri tersendiri sebagai identitas
yang membedakan dari kelompok lain. Dalam hal ini, bahasalah sebagai
representatifnya. Dari segi fungsinya, bahasa gaul memiliki persamaan antara slang,
dan prokem. Kosa kata bahasa remaja banyak diwarnai oleh bahasa prokem, bahasa
gaul, dan istilah yang pada tahun 1970-an banyak digunakan oleh para pengguna
narkoba (narkotika, obat-obatan dan zat adiktif). Hampir semua istilah yang
digunakan bahasa rahasia di antara mereka yang bertujuan untuk menghindari campur
tangan orang lain. Bahasa gaul merupakan bentuk bahasa tidak resmi (Nyoman Riasa,
2006).
Waria adalah laki-laki yang lebih suka berperan sebagai perempuan dalam
kehidupannya sehari-hari. Keberadaan waria telah tercatat lama dalam sejarah dan
memiliki posisi yang berbeda-beda dalam setiap masyarakat. Walaupun dapat terkait
dengan kondisi fisik seseorang, gejala waria adalah bagian dari aspek sosial
transgenderisme. Seorang laki-laki memilih menjadi waria dapat terkait dengan
keadaan biologisnya (hermafroditisme), orientasi seksual (homoseksualitas), maupun
akibat pengondisian lingkungan pergaulan. Sebutan bencong juga dikenakan terhadap
waria dan bersifat negatif.
Dalam sebuah milis (2006) disebutkan bahwa bahasa gaul memiliki sejarah
sebelum penggunaannya populer seperti sekarang ini. Sebagai bahan teori, berikut
adalah sejarah kata bahasa gaul tersebut:
1). Nih Yee...
Ucapan ini terkenal di tahun 1980-an, tepatnya November 1985. pertama kali
yang mengucapkan kata tersebut adalah seorang pelawak bernama Diran. Selanjutnya
dijadikan bahan lelucon oleh Euis Darliah dan popular hingga saat ini.
2) Memble dan Kece
Dalam milis tersebut dinyatakan bahwa kata memble dan kece merupakan
kata-kata ciptaan khas Jaja Mihardja. Pada tahun 1986, muncul sebuah film berjudul
Memble tapi Kece yang diperankan oleh Jaja Mihardja ditemani oleh Dorce
Gamalama.
3) Bow....
Kata ini popular pada pertengahan awal 1990-an. Penutur pertama kata
Bow…adalah grup GSP yang beranggotakan Hennyta Tarigan dan Rina Gunawan.
Kemudian kata-kata dilanjutkan oleh Lenong Rumpi dan menjadi popular di
lingkungan pergaulan kalangan artis. Salah seorang artis bernama Titi DJ kemudian
disebut sebagai artis yang benar-benar mempopulerkan kata ini.
4) Nek...
Setelah kata Bow... popular, tak lama kemudian muncul kata-kata Nek... yang
dipopulerkan anak-anak SMA di pertengahan 90-an. Kata Nek... pertama kali di
ucapkan oleh Budi Hartadi seorang remaja di kawasan kebayoran yang tinggal
bersama neneknya. Oleh karena itu, lelaki yang latah tersebut sering mengucapkan
kata Nek...
5) Jayus
Pada akhir dekade 90-an dan awal abad 21, ucapan jayus sangat popular. Kata
ini dapat berarti sebagai ‘lawakan yang tidak lucu’, atau ‘tingkah laku yang disengaja
untuk menarik perhatian, tetapi justru membosankan’. Kelompok yang pertama kali
mengucapkan kata ini adalah kelompok anak SMU yang bergaul di Kitaran Kemang.
Asal mula kata ini dari Herman Setiabudhi. Dirinya dipanggil oleh temantemannya
Jayus. Hal ini karena ayahnya bernama Jayus Kelana, seorang pelukis di
kawasan Blok M. Herman atau Jayus selalu melakukan hal-hal yang aneh-aneh
dengan maksud mencari perhatian, tetapi justru menjadikan bosan teman-temannya.
Salah satu temannya bernama Sonny Hassan atau Oni Acan sering memberi komentar
jayus kepada Herman. Ucapan Oni Acan inilah yang kemudian diikuti temantemannya
di daerah Sajam, Kemang lalu kemudian merambat populer di lingkungan
anak-anak SMU sekitar.
6) Jaim
Ucapan jaim ini di populerkan oleh Bapak Drs. Sutoko Purwosasmito,
seorang pejabat di sebuah departemen, yang selalu mengucapkan kepada anak
buahnya untuk menjaga tingkah laku atau menjaga image.
7) Gitu Loh...(GL)
Kata GL pertama kali diucapin oleh Gina Natasha seorang remaja SMP di
kawasan Kebayoran. Gina mempunyai seorang kakak bernama Ronny Baskara
seorang pekerja event organizer. Sedangkan Ronny punya teman kantor bernama
Siska Utami. Suatu hari Siska bertandang ke rumah Ronny. Ketika dia bertemu Gina,
Siska bertanya dimana kakaknya, lantas Gina ngejawab di kamar, Gitu Loh. Esoknya
si Siska di kantor ikut-ikutan latah dia ngucapin kata Gitu Loh...di tiap akhir
pembicaraan.
2.7 Pembagian Bahasa Gaul
Semua kelompok sosial di dalam masyarakat mempunyai potensi untuk
mempunyai bahasa dengan ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan kelompok
lain. Dengan kata lain, setiap kelompok sosial yang ada di dalam masyarakat
memiliki variasi atau ragam bahasa tersendiri didasarkan atas perbedaan faktor-faktor
sosial, seperti umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, dan sebagainya.
Pengujar bahasa gaul umumnya adalah para remaja, kaum selebritis dan
waria. Seperti penjelasan yang telah dipaparkan oleh penulis sebelumnya bahwa
penelitian ini merupakan kelanjutan dari penelitian-penelitian sebelumnya, penulis
juga mencoba melanjutkan penelitian terhadap bahasa gaul dengan meneruskan
penelitian yang telah dilakukan oleh Sondang Manik (2004) yang membagi bahasa
gaul kedalam dua bagian, yakni bahasa gaul umum dan bahasa gaul khusus.
2.7.1. Bahasa Gaul Umum
Bahasa gaul umum adalah bahasa yang sering digunakan oleh muda-mudi,
khususnya yang tinggal di daerah perkotaan untuk bertemu atau bersahabat di tengah
masyatakat. Bahasa gaul umum banyak ditemukan pada sinetron-sinetron di TV,
majalah-majalah dan tabloid remaja.
2.7.2. Bahasa Gaul Khusus
Variasi atau ragam bahasa yang digunakan oleh sekelompok orang akan
dinilai baik apabila masyarakat memberikan penilaian yang tinggi atau baik terhadap
para penuturnya. Nilai tinggi yang diberikan oleh masyarakat terhadap penutur itu
memberikan prestise kepada ragam bahasanya, lebih dari ragam-ragam lain yang
digunakan oleh golongan lain, begitu juga dengan bahasa gaul khusus yang pada
awalnya merupakan bahasa rahasia antar sesama kaum waria. Penilaian masyarakat
yang buruk terhadap kaum waria juga memberikan nilai buruk terhadap ragam
bahasanya, hal inilah yang kemudian memacu penilaian bahwa setiap orang yang
menggunakan bahasa kaum waria sama buruknya dengan komunitas penuturnya
(Kaveriana, 1996:18) namun seiring dengan masuknya ragam bahasa waria ini ke
dalam lingkungan selebritis yang di bawa oleh para waria yang hampir sebagian besar
berprofesi sebagai penata rias artis. Sedikit demi sedikit penilaian masyarakat
berubah terhadap ragam bahasa waria tersebut. Anggapan masyarakat, khususnya
masyarakat perkotaan bahwa artis merupakan idola, pembawa trend, dan memiliki
pergaulan yang luas membuat masyarakat, terutama masyarakat kalangan muda
berlomba-lomba meniru apa saja yang dilakukan oleh artis pujaanya termasuk
menggunakan bahasa yang mereka pakai dalam berkomunikasi agar mereka juga
dikatakan sebagai anak gaul dan tidak ketinggalan zaman. Hal inilah yang kemudian
memicu bergantinya nama ragam bahasa rahasia di kalangan waria tersebut menjadi
bahasa gaul.
Bahasa gaul khusus tidak memliki sistem yang teratur dalam penciptaan katakatanya,
hanya saja pola dasar kalimatnya sama dengan bahasa gaul umum karena
sama-sama digunakan dalam siuasi non formal. Bahasa gaul khusus dapat
dikategorikan sebagai bahasa rahasia, karena hanya digunakan oleh sekelompok
orang tertentu, terutama kaum waria untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Bahasa
gaul khusus ini pasti akan berubah kerahasiannya apabila telah dimengerti dan
dipakai oleh banyak orang secara umum dalam komunikasi sehari-hari.
Penggunaan bahasa gaul di kalangan muda yang semakin tinggi intensitasnya
membuat istilah kosakata dalam bahasa gaul tersebut semakin bertambah dan
perumusnya menjadi tidak tetap. Istilah-istilah yang unik tersebut kemudian diangkat
oleh Debby Sahertian dan dibuat menjadi sebuah buku dengan judul Kamus Bahasa
Gaul (Kamasutra Bahasa Gaul).
2.8 Kajian Hasil-Hasil Penelitian yang Relevan
Konsep sosiolinguistik yang dikembangkan oleh beberapa ahli (1992),
Joshua.A. Fisman (1972), Nababan (1984), (Pateda 1996). Sedangkan yang berkaitan
dengan semantik leksikal yaitu pendapat para ahli Goseriu dan Gecheler (1894),
George (1964), Peteda (1996) selanjutnya Verhaar (1988) Leech (2003).
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, terdapat beberapa penelitian yang
relevan dengan penelitian ini, yaitu Pengkajian semantik pada bahasa gaul, Sondang
Manik (2004). Analisis Penggunaan Bahasa Gaul di Kalangan Waria di Kota Madya
Medan, Ronny Patty Carlos (2000). Bahasa Gaul, Willyana Sukmi (2006), Bahasa
Indonesia Ragam Bahasa Waria di Kotamadya Medan, Henry Kaveriana S (1996)
Sedangkan yang berkaitan dengan semantik yaitu Analisis Semantik Leksikal dan
Semantik Kalimat Bahasa Minangkabau oleh Salliyanti (2003) dan Suatu
Penggkajian Semantik Berdasarkan Kriteria Sosial Penutur Bahasa Indonesia, Emmi
Tambunan (1996).
Langganan:
Postingan (Atom)